Oleh Arda Dinata
email: arda.dinata@gmail.com
KAUM Muslim yang sudah melaksanakan ibadah haji, tentunya kita harapkan menjadi haji mabrur. Doa ini penting kita panjatkan karena semua jamaah haji tentu mendambakan haji mabrur. Harapan dan keinginan mendapatkan haji mabrur dapat dipahami, karena bukankah pengampunan dan surga Allah menjadi balasan dan imbalannya. Nabi Saw bersabda, Haji yang mabrur tak ada balasan lain kecuali surga. (HR. Bukhari dan Muslim).
Mereka yang telah menggapai haji mabrur, tentu akan memancarkan berbagai kebaikan sosial dalam kehidupan kesehariannya, diantaranya, ialah memiliki peningkatan rasa persaudaraan di antara umat, karena saling berkenalan dan berkomunikasi dengan jamaah haji dari segala penjuru dunia, menumbuhkan rasa hormat menghormati dan mengalahkan rasa rendah diri, karena di sanalah jamaah haji akan menyadari kesamaan derajat di hadapan Allah SWT.
Selain itu, kemabruran ibadah haji juga ditandai oleh tanggung jawab dakwah Islamiyah yang tinggi, baik bil lisanil hal maupun bil lisanil maqal. Hal ini sesuai pesan Rasul saat haji Wada’, yaitu supaya setiap yang hadir wajib menyampaikan ajaran Islam kepada yang tidak hadir. Demikian pula dengan tanggung jawab dalam memelihara jiwa, harta, kehormatan dari orang lain, melindungi yang lemah baik manusia, heman dan tumbuh-tumbuhan.
Pendeknya, haji mabrur berarti haji yang baik atau mendatangkan kebaikan bagi pelakunya. Di kalangan ulama, diungkapkan kalau haji mabrur itu ialah haji yang tidak dicampuri atau dinodai oleh dosa-dosa. Ini mengandung makna bahwa berbagai kebaikan ibadah haji yang diperoleh oleh para hujjaj itu telah membentengi diri mereka dari dosa-dosa dan berbagai tindakan kejahatan.
Berkait dengan itu, Imam Nawawi, mengungkapkan bahwa haji mabrur adalah haji yang buah atau hasilnya tampak jelas bagi para pelakunya. Buah haji itu, tak lain menguatnya iman dan meningkatnya ibadah serta amal saleh dalam arti yang seluas-luasnya. Dengan demikian, maka keadaan hujjaj itu setelah menunaikan ibadah haji jauh lebih baik dari keadaan sebelumnya.
Memelihara dan melanggengkan nilai keimanan
Berdasarkan pola pikir yang diungkapkan Imam Nawawi tersebut, tentu dapat dipahami bahwa memperoleh haji mabrur merupakan sesuatu yang sulit. Namun, sesungguhnya yang lebih sulit lagi dari itu adalah bagaimana mempertahankan, memelihara dan melanggengkan nilai-nilai kemabruran haji itu sepanjang hidup kita.
Oleh karena itu, kemabruran haji ini tentu perlu senantiasa dipelihara, karena kondisi batin seseorang tidaklah tetap. Tapi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitarnya. Tepatnya, suatu saat kadar iman tinggi, di lain waktu kadar iman menjadi menurun.
Ketinggian dari nilai iman ini, tentu banyak tantangan untuk mempertahankannya dalam kehidupan manusia. Lebih-lebih saat ini, berbagai serbuan media dan informasi banyak yang dapat melemahkan kekuatan iman seseorang. Artinya derajat dan tingkatan iman setiap orang berbeda-beda. Jelasnya, fluktuasi iman seseorang itu akan terjadi setiap saat.
Kondisi seperti itulah yang banyak kita lupakan. Di sinilah sebenarnya perlunya upaya memperbaharui keimanan kita setiap saat. Memperbaharui keimanan (Tajdidul Iman), diartikan sebagai bentuk kompensasi kita ---usaha untuk mempertahankan kestabilan iman--- dan mengontrol kadar iman yang kita miliki serta meningkatkan kualitas imannya.
Untuk mencapai kondisi iman yang relatif stabil itu, memang bukan sesuatu yang mudah. Walau demikian, bagi Allah tentu tidak ada yang tidak mungkin, kalau cinta-Nya telah bersemayam pada diri kita. Setidaknya ada empat usaha yang dapat membangkitkan/melanggengkan nilai keimanan seseorang (terutama setelah menggapai haji mabrur), sehingga Tajdidul Iman tersebut menjadi terarah.
Pertama, melakukan tadabbur quran. Allah dalam Alqur’an menyebutkan apakah mereka merenungkan Quran? (QS. 4: 82). Lalu, Allah juga berfirman (yang artinya) : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-qur’an ataukah hati mereka terkunci.” (QS. 47: 24). Dari perilaku tadabbur quran ini, maka pikiran kita akan selalu merenungkan, mengkaji dan mengaplikasikan isinya, sehingga iman kita terhadap-Nya akan selalu terkontrol pada ketentuan-Nya.
Kedua, melakukan tafakur alam. Allah berfirman dalam surat Ali Imran: 190-191, yang artinya: “Sesungguhnya tentang kejadian langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang menjadi tanda (atas kekuasaan Allah) bagi orang-orang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah ketika berdiri, duduk dan waktu berbaring; dan mereka memikirkan kejadian langit dan bumi, (sambil berkata): Ya Tuhan kami, bukanlah Engkau jadikan ini dengan percuma (sia-sia), Mahasuci Engkau, maka peliharakanlah kami dari siksa neraka.”
Kalau kita perhatikan, ternyata ayat tersebut diakhiri dengan doa untuk kemenagan iman, mengalahkan kekafiran, dan diakhiri pula dengan ramalan tentang kemenangan akhir. Di sini dinyatakan pula bahwa kaum mukmin bukanlah orang pertapa yang menyingkir ke tempat sunyi untuk berdzikir kepada Allah, dan bukan pula orang yang hanya berusaha menaklukan alam, tanpa berpikir tentang Tuhan dan Penciptaan alam semesta. Sebaliknya, kaum mukmin dilukiskan sebagai orang yang mengingat-ingat Allah di tengah-tengah kesibukan mereka dalam urusan duniawi ---sambil berdiri, duduk dan berbaring---.
Dengan demikian, mereka menyadari sepenuhnya akan adanya Tuhan dimanapun dan dalam keadaan bagaimanapun. Sebaliknya, mereka berusaha menaklukkan alam dengan sepenuh kesadaran bahwa tak ada barang yang diciptakan itu terdapat tujuan-tujuan tertentu. Itulah tujuan utama yang digariskan oleh Islam bagi para pengikutnya, yaitu menaklukan diri sendiri dengan jalan berdzikir kepada Allah, dan menaklukan alam dengan jalan menuntut ilmu pengetahuan (Muhammad Ali: 1995). Melalui usaha ini, jelas-jelas akan meningkatkan keimanan bagi mereka yang melakukannya.
Ketiga, melakukan amal shalih. Ada tidaknya atau tinggi rendahnya iman seseorang akan dapat dilihat dari perilakunya. Artinya perilaku seseorang akan menunjukkan tingkat imannya. Dalam hal ini, perilaku yang dapat membangkitkan nilai keimanan adalah berupa memperbanyak amal shalih.
Secara demikian, orang yang mengerjakan amal shalih adalah orang beriman yang mengaktualisasikan keimananya berupa amal perbuatan yang jelas-jelas dilandasi iman. Iman dan amal perbuatan itu, tidak bisa dipisahkan. Sebab, iman menuntut adanya amal dan amal merupakan konsekuensi mutlak dari sebuah keimanan. Sebaliknya amal menuntut adanya iman, karena amal perbuatan tanpa dilandasi keimanan kepada Allah adalah sia-sia belaka (tidak berguna). Oleh karena itu, besar kecilnya kadar keimanan seseorang akan banyak ditentukan oleh jenis, kualitas dan kontinuitas amal yang dilakukannya.
Keempat, melakukan proteksi terhadap perbuatan dosa. Untuk menjadikan hati bening berisi keimanan, maka lakukanlah perbuatan-perbuatan yang terhindar dari perilaku maksiat atau mendatangkan dosa. Hal ini didasarkan bahwa perbuatan dosa itu bisa menyebabkan hati kita menjadi kotor. Kondisi hati yang kotor, tentu dapat menyebabkan tertutupnya iman dan bahkan akan menenggelamkan keimanan seseorang.
Aktivitas Tajdidul Iman dengan cara membangkitkan nilai keimanan seperti disebut di atas, paling tidak ia merupakan langkah yang tepat dalam menggapai posisi iman sejati. Lebih-lebih jalan menuju iman seperti disebut di awal, benar-benar telah dipenuhi dan diaplikasikan dalam hidup keseharian.
Akhirnya, kita hanya memohon kepada Allah SWT, semoga kita diberi ilmu dan kemampuan usaha berbuat Tajdidul Iman pada setiap saat, lebih-lebih bagi mereka yang telah memperoleh predikat haji mabrur. Sehingga diharapkan aktivitas ini akan meningkatkan iman kita menuju terwujudnya iman sejati yang sesuai dengan harapan-Nya. Amin.***
Penulis, Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA), bermukim di Bandung.
http://www.miqra.blogspot.com
email: arda.dinata@gmail.com
KAUM Muslim yang sudah melaksanakan ibadah haji, tentunya kita harapkan menjadi haji mabrur. Doa ini penting kita panjatkan karena semua jamaah haji tentu mendambakan haji mabrur. Harapan dan keinginan mendapatkan haji mabrur dapat dipahami, karena bukankah pengampunan dan surga Allah menjadi balasan dan imbalannya. Nabi Saw bersabda, Haji yang mabrur tak ada balasan lain kecuali surga. (HR. Bukhari dan Muslim).
Mereka yang telah menggapai haji mabrur, tentu akan memancarkan berbagai kebaikan sosial dalam kehidupan kesehariannya, diantaranya, ialah memiliki peningkatan rasa persaudaraan di antara umat, karena saling berkenalan dan berkomunikasi dengan jamaah haji dari segala penjuru dunia, menumbuhkan rasa hormat menghormati dan mengalahkan rasa rendah diri, karena di sanalah jamaah haji akan menyadari kesamaan derajat di hadapan Allah SWT.
Selain itu, kemabruran ibadah haji juga ditandai oleh tanggung jawab dakwah Islamiyah yang tinggi, baik bil lisanil hal maupun bil lisanil maqal. Hal ini sesuai pesan Rasul saat haji Wada’, yaitu supaya setiap yang hadir wajib menyampaikan ajaran Islam kepada yang tidak hadir. Demikian pula dengan tanggung jawab dalam memelihara jiwa, harta, kehormatan dari orang lain, melindungi yang lemah baik manusia, heman dan tumbuh-tumbuhan.
Pendeknya, haji mabrur berarti haji yang baik atau mendatangkan kebaikan bagi pelakunya. Di kalangan ulama, diungkapkan kalau haji mabrur itu ialah haji yang tidak dicampuri atau dinodai oleh dosa-dosa. Ini mengandung makna bahwa berbagai kebaikan ibadah haji yang diperoleh oleh para hujjaj itu telah membentengi diri mereka dari dosa-dosa dan berbagai tindakan kejahatan.
Berkait dengan itu, Imam Nawawi, mengungkapkan bahwa haji mabrur adalah haji yang buah atau hasilnya tampak jelas bagi para pelakunya. Buah haji itu, tak lain menguatnya iman dan meningkatnya ibadah serta amal saleh dalam arti yang seluas-luasnya. Dengan demikian, maka keadaan hujjaj itu setelah menunaikan ibadah haji jauh lebih baik dari keadaan sebelumnya.
Memelihara dan melanggengkan nilai keimanan
Berdasarkan pola pikir yang diungkapkan Imam Nawawi tersebut, tentu dapat dipahami bahwa memperoleh haji mabrur merupakan sesuatu yang sulit. Namun, sesungguhnya yang lebih sulit lagi dari itu adalah bagaimana mempertahankan, memelihara dan melanggengkan nilai-nilai kemabruran haji itu sepanjang hidup kita.
Oleh karena itu, kemabruran haji ini tentu perlu senantiasa dipelihara, karena kondisi batin seseorang tidaklah tetap. Tapi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitarnya. Tepatnya, suatu saat kadar iman tinggi, di lain waktu kadar iman menjadi menurun.
Ketinggian dari nilai iman ini, tentu banyak tantangan untuk mempertahankannya dalam kehidupan manusia. Lebih-lebih saat ini, berbagai serbuan media dan informasi banyak yang dapat melemahkan kekuatan iman seseorang. Artinya derajat dan tingkatan iman setiap orang berbeda-beda. Jelasnya, fluktuasi iman seseorang itu akan terjadi setiap saat.
Kondisi seperti itulah yang banyak kita lupakan. Di sinilah sebenarnya perlunya upaya memperbaharui keimanan kita setiap saat. Memperbaharui keimanan (Tajdidul Iman), diartikan sebagai bentuk kompensasi kita ---usaha untuk mempertahankan kestabilan iman--- dan mengontrol kadar iman yang kita miliki serta meningkatkan kualitas imannya.
Untuk mencapai kondisi iman yang relatif stabil itu, memang bukan sesuatu yang mudah. Walau demikian, bagi Allah tentu tidak ada yang tidak mungkin, kalau cinta-Nya telah bersemayam pada diri kita. Setidaknya ada empat usaha yang dapat membangkitkan/melanggengkan nilai keimanan seseorang (terutama setelah menggapai haji mabrur), sehingga Tajdidul Iman tersebut menjadi terarah.
Pertama, melakukan tadabbur quran. Allah dalam Alqur’an menyebutkan apakah mereka merenungkan Quran? (QS. 4: 82). Lalu, Allah juga berfirman (yang artinya) : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-qur’an ataukah hati mereka terkunci.” (QS. 47: 24). Dari perilaku tadabbur quran ini, maka pikiran kita akan selalu merenungkan, mengkaji dan mengaplikasikan isinya, sehingga iman kita terhadap-Nya akan selalu terkontrol pada ketentuan-Nya.
Kedua, melakukan tafakur alam. Allah berfirman dalam surat Ali Imran: 190-191, yang artinya: “Sesungguhnya tentang kejadian langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang menjadi tanda (atas kekuasaan Allah) bagi orang-orang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah ketika berdiri, duduk dan waktu berbaring; dan mereka memikirkan kejadian langit dan bumi, (sambil berkata): Ya Tuhan kami, bukanlah Engkau jadikan ini dengan percuma (sia-sia), Mahasuci Engkau, maka peliharakanlah kami dari siksa neraka.”
Kalau kita perhatikan, ternyata ayat tersebut diakhiri dengan doa untuk kemenagan iman, mengalahkan kekafiran, dan diakhiri pula dengan ramalan tentang kemenangan akhir. Di sini dinyatakan pula bahwa kaum mukmin bukanlah orang pertapa yang menyingkir ke tempat sunyi untuk berdzikir kepada Allah, dan bukan pula orang yang hanya berusaha menaklukan alam, tanpa berpikir tentang Tuhan dan Penciptaan alam semesta. Sebaliknya, kaum mukmin dilukiskan sebagai orang yang mengingat-ingat Allah di tengah-tengah kesibukan mereka dalam urusan duniawi ---sambil berdiri, duduk dan berbaring---.
Dengan demikian, mereka menyadari sepenuhnya akan adanya Tuhan dimanapun dan dalam keadaan bagaimanapun. Sebaliknya, mereka berusaha menaklukkan alam dengan sepenuh kesadaran bahwa tak ada barang yang diciptakan itu terdapat tujuan-tujuan tertentu. Itulah tujuan utama yang digariskan oleh Islam bagi para pengikutnya, yaitu menaklukan diri sendiri dengan jalan berdzikir kepada Allah, dan menaklukan alam dengan jalan menuntut ilmu pengetahuan (Muhammad Ali: 1995). Melalui usaha ini, jelas-jelas akan meningkatkan keimanan bagi mereka yang melakukannya.
Ketiga, melakukan amal shalih. Ada tidaknya atau tinggi rendahnya iman seseorang akan dapat dilihat dari perilakunya. Artinya perilaku seseorang akan menunjukkan tingkat imannya. Dalam hal ini, perilaku yang dapat membangkitkan nilai keimanan adalah berupa memperbanyak amal shalih.
Secara demikian, orang yang mengerjakan amal shalih adalah orang beriman yang mengaktualisasikan keimananya berupa amal perbuatan yang jelas-jelas dilandasi iman. Iman dan amal perbuatan itu, tidak bisa dipisahkan. Sebab, iman menuntut adanya amal dan amal merupakan konsekuensi mutlak dari sebuah keimanan. Sebaliknya amal menuntut adanya iman, karena amal perbuatan tanpa dilandasi keimanan kepada Allah adalah sia-sia belaka (tidak berguna). Oleh karena itu, besar kecilnya kadar keimanan seseorang akan banyak ditentukan oleh jenis, kualitas dan kontinuitas amal yang dilakukannya.
Keempat, melakukan proteksi terhadap perbuatan dosa. Untuk menjadikan hati bening berisi keimanan, maka lakukanlah perbuatan-perbuatan yang terhindar dari perilaku maksiat atau mendatangkan dosa. Hal ini didasarkan bahwa perbuatan dosa itu bisa menyebabkan hati kita menjadi kotor. Kondisi hati yang kotor, tentu dapat menyebabkan tertutupnya iman dan bahkan akan menenggelamkan keimanan seseorang.
Aktivitas Tajdidul Iman dengan cara membangkitkan nilai keimanan seperti disebut di atas, paling tidak ia merupakan langkah yang tepat dalam menggapai posisi iman sejati. Lebih-lebih jalan menuju iman seperti disebut di awal, benar-benar telah dipenuhi dan diaplikasikan dalam hidup keseharian.
Akhirnya, kita hanya memohon kepada Allah SWT, semoga kita diberi ilmu dan kemampuan usaha berbuat Tajdidul Iman pada setiap saat, lebih-lebih bagi mereka yang telah memperoleh predikat haji mabrur. Sehingga diharapkan aktivitas ini akan meningkatkan iman kita menuju terwujudnya iman sejati yang sesuai dengan harapan-Nya. Amin.***
Penulis, Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA), bermukim di Bandung.
http://www.miqra.blogspot.com