- / / : 081284826829

Berselancar di Dunia Hati

Oleh ARDA DINATA



ADAKAH yang lebih jujur dari kata hati, ketika ia menyadarkan kita tanpa butiran kata-kata. Adakah yang lebih tajam dari mata hati, saat ia menghentak kita dari beragam kesalahan dan kehilafan. Sungguh kondisi yang paling indah dari seluruh putaran kehidupan ini, tidak lain saat di mana kita mampu secara jujur dan tulus mendengar suara hati. Sehingga pantas Imam Turmudzi mengatakan, “Hidupnya hati karena iman dan kematiannya karena kekufuran. Sehatnya hati karena ketaatan dan sakitnya hati karena terus-menerus mengerjakan kemaksiatan. Kesadarannya hati karena dzikir dan tidurnya hati karena kelengahan.”


Hati sendiri pada dasarnya merupakan tunas dari kedamaian. Dr. Ahmad Faried, menggambarkan bahwa hubungan hati dengan organ-organ tubuh lainnya, laksana raja yang bertahta di atas singgasana yang dikelilingi para punggawanya. Seluruh anggota punggawa bergerak atas perintahnya. Dengan kata lain, bahwa hati itu adalah sebagai remote control sekaligus pemegang komando terdepan (utama). Karena semua anggota tubuh berada dibawah komando dan dominasinya. Di hati inilah anggota badan lainnya mengambil keteladanannya, dalam ketaatan atau penyimpangan.

Jadi, betapa pentingnya kedudukan hati ini dalam kehidupan manusia. Namun, pertanyaannya adalah apakah kita selama ini telah “berselancar” untuk betul-betul memahami dan memaknai keberadaan dunia hati ini?

Hati fisik dan hati ruhani
Bila kita “berselancar” di dunia hati, maka kita akan bersentuhan dengan sesuatu yang berada di setiap sisi-sisi hati manusia tersebut, mulai dari arti hati secara fisik sampai dengan bagian-bagian hati itu bila dilihat secara ruhani, termasuk di dalamnya adalah segala organ tubuh yang sering berhubungan dengan hati itu sendiri.

Berbicara hati (qalb, kalbu), tentu kita akan melihatnya dari dua sudut kaca mata yang berbeda, yaitu hati fisik dan hati ruhani. Secara fisik, hati ini bagi kebanyakan orang merupakan sepotong organ dalam tubuh manusia yang terletak di bagian kiri dada dan sebagai sumber (pusat) roh. Dalam satu keterangan disebutkan, kalau sepotong organ ‘daging’ itu berbentuk buah sanaubar (berarti buah cemara atau sejenis dengan itu, mirip dengan jantung manusia. Kata ini bila diindonesiakan menjadi ‘sanubari’ untuk menunjukkan perasaan hati yang mendalam. Sebetulnya, terjemahan yang lebih tepat bagi kata qalb ini dalam bahasa Indonesia adalah ‘jantung’). Dan secara teknis ilmu anatomi, hati ini diartikan sebagai suatu bagian isi perut yang merah kehitam-hitaman warnanya, terletak di sebelah kanan perut besar, gunanya untuk mengambil sari-sari makanan di dalam darah dan menghasilkan empedu.

Kalau dilihat secara ruhani, hati (qalb, kalbu) adalah hal-hal yang bersifat ruhani, rabbani non-inderawi yang tersimpan dalam nurani manusia. Demikianlah yang dikatakan dalam Alquran, yaitu tempat bersemayam iman, takwa, ihsan, dzikir, cinta, tentram dan lainnya. Selain itu, hati ini merupakan tempat bersemayam kekufuran, nifak, riya, dengki, iri, benci, cemas, dan lainnya.

Dalam bahasa lain, hati ini disebut sebagai sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat (pusat) segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian-pengertian (perasaan-perasaan, dsb). Arti lainnya, hati merupakan pusat pemahaman/internalisasi. Pusat Intutional Intelectual (II). Pusat memori dari semua amal (baik-buruk). Indera perasaan (rasa halus), untuk pencerapan hal yang abstrak. Indera hati (mata dan telinga hati), untuk pencerapan alam gaib.

Terkait dengan hati ini, menurut Al-Ghazali, hati (qalb, kalbu) ini dapat dimaknai sebagai sebuah lathifah (sesuatu yang amat halus dan lembut, tidak kasat mata, tak berupa dan tak dapat diraba), yang bersifat Rabbani ruhani (sesuatu yang berkaitan dengan sifat ilahiah dan roh/ruh), meski ada juga kaitannya dengan ‘organ hati’. Lathifah tersebut sesungguhnya adalah jati diri manusia atau hakikatnya. Dia adalah bagian (komponen) utama manusia yang berpotensi mencerap (memiliki daya tanggap atau persepsi), yang mengetahui dan mengenal, yang ditunjukan kepadanya segala pembicaraan dan penilaian, dan yang dicekam dan dimintai pertanggungjawaban.

Bagian-bagian hati ruhani
Hati (qalb, kalbu) termasuk organ gaib yang merupakan ‘alat’ yang dipergunakan oleh jiwa manusia. Kita tahu struktur jiwa ini terdiri dari: Aku (nafs)---analog dengan simbol S. Freuid, das Ich (Ego)---, dan Diri (anfus)---analog dengan simbol S. Freuid, das Es (Id)---. Dan kalau kita lihat lebih jauh, ternyata Aku unsurnya “nafsu” (nafs) energinya “cahaya”, sifatnya “salah”, fungsinya sebagai inti kesatuan dan tulang punggung eksistensi manusia. Aku mempunyai kebebasan untuk memilih apakah “salah” atau “benar”, hal inilah yang membedakan manusia dari binatang dan makhluk Tuhan lainnya yaitu malaikat “benar” terus, setan “salah” terus.

Sifat nafsu adalah “salah”, kalau yang dipilih/dilaksanakan “nafsu sendiri (fitrah)”, disebut “niat dalam”, akan dibela oleh Diri oleh karena “nafsu” yang disayangi oleh Tuhannya dan akan selamat, kalau karena pengaruh setan disebut “niat luar”, pasti celaka apa pun alasannya.

Sementara itu, keberadaan Diri ini unsurnya “napsu(anfus)”, dzatnya “cahaya” (“Tenaga Dalam”), sifatnya “benar” oleh karena hakikatnya Malaikat yang ditanam-Nya sejak konsepsi. Fungsinya: menjaga, membela Aku, agar selamat, mengatur dan memperkuat kehidupan (fungsi vegetatif), agar Aku survive.

Berdasarkan hal itu, jadi dapat dikatakan bahwa kalbu ini terdiri dari organ/alat gaib dari Diri/Aku; pusat pemahaman/internalisasi; pusat intutional intelectual (II); pusat memori dari semua amal (baik-jelek); organ/alat dari setan untuk melakukan interferensi terhadap Aku; sebagai indera perasaan (rasa halus) untuk pencerapan hal yang abstrak; dan indera hati (mata dan telinga hati), untuk pencerapan alam gaib. Dalam bahasa lain, dr. Ukas Cukasah, SpA, berdasarkan hasil penelitiannya tentang hakekat manusia Indonesia seutuhnya, mengungkapkan bahwa, kalbu merupakan pusat penghayatan indera perasaan, pusat akal dengan indera mata dan telinga hati, dan pusat memori pengalaman tidak-enak yang direpresi oleh Aku, yang pada gilirannya akan menimbulkan stres psikologis. Sedangkan pengalaman enak akan disimpan di memori otak. Jadi, pada hakekatnya roh, rasa, Aku, Diri, adalah gaib dan kalbu adalah organ gaib.

Terkait dengan kalbu sebagai organ gaib, tentu ia memiliki hubungan yang tidak terpisahkan dengan keberadaan unsur roh, nafs, dan akal yang sama-sama berada dalam tubuh manusia. Berikut ini hubungan diantara unsur tersebut di dalam tubuh manusia.

1. Hubungan kalbu dengan roh.
Roh/ruh adalah sesuatu yang abstrak (tidak kasat mata), yang bersemayam dalam rongga “hati biologis”, dan ‘mengalir’ melalui urat-urat dan pembuluh-pembuluh, ke seluruh anggota tubuh. Adapun mengalirnya dalam tubuh dengan membawa limpahan cahaya-cahaya kehidupan, perasaan, penglihatan, pendegaran dan penciuman ke dalam semua anggota badan. Adalah ibarat melimpahnya cahaya dari pelita yang dikelilinginya ke seluruh penjuru rumah.

Keberadaan roh ini, terdiri dari roh hewani, roh nabati, dan roh suci. Pertama, roh hewani, keberadaannya telah ada sejak konsepsi manusia. Sifatnya “hidup”, unsurnya “cahaya”, dan fungsinya memberikan “kehidupan” tingkat sel dari organ sadar (motorik), sebagai alat Aku untuk pemenuhan kebutuhan jasmani, sehingga Aku puas, senang, dll. Utusannya adalah rasa kasar, terdiri dari rasa kasar dalam (propioseptif) yang menyertai panca indera sehingga Aku dapat komunikasi/pencerapan dengan alam nyata-ada, melalui metoda kuantitatif.

Kedua, roh nabati. Telah ada sejak konsepsi manusia. Sifatnya “hidup”, unsurnya “cahaya”, dan fungsinya memberi “kehidupan” tingkat sel dari organ dalaman untuk fungsi vegetatif yang diatur oleh Diri untuk kepentingan Aku, sehingga Aku survive.

Utusan roh nabati adalah rasa halus terdiri dari rasa viseral dan rasa dalam yang menyertai indera perasaan sehingga Aku dapat melakukan pemahaman/pencerapan hal-hal yang abstrak (yang bereksistensi di dunia nyata) melalui metoda naturalistik.

Ketiga, roh suci. Keberadaannya ada dihembuskan kurang lebih umur 12 minggu dalam kandungan. Sifatnya “hidup”, unsurnya “cahaya”, fungsinya menjadikan Aku “yang hidup” dan memberikan “kehidupan” tingkat organ, yang ditandai oleh mulai berfungsinya (berdenyut) jasad yang terletak di atrium kiri jantung memancarkan sinyal sehingga jantung mulai memompa darah mengangkut oksigen dan nutrien untuk kebutuhan organ-organ.

Roh suci ini mempunyai utusan rasa jati yang menyertai indera hati sehingga Aku dapat merasakan/melakukan komunikasi dan pencerapan alam gaib dengan metoda intuisi. Dan kalau terminal roh suci, jasad berdenyut terus, maka utusannya, rasa jati dengan terminalnya di pusat liver (hepar) akan “nyala” terus sepanjang hayat.

2. Hubungan kalbu dengan Nafs.
Kata nafs mengandung beberapa makna (jiwa, sukma, diri, nafsu, dan sebagainya). Pertama, yang dalam bahasa Indonesia sama dengan kata ‘nafsu’ yaitu mencakup fakultas emosi atau amarah (ghadhab) dan ambisi atau (syahwah) dalam diri manusia. Makna seperti inilah yang sering kali digunakan dikalangan para ahli tasawuf, karena mereka mengartikan kata nafs (nafsu) sebagai sesuatu yang mencakup sifat-sifat tercela pada diri manusia. Itulah sebabnya mereka menegaskan tentang keharusan melawan nafsu ataupun mengekangnya. Makna demikian, seperti diisyaratkan dalam sabda Nabi Saw., “Musuhmu yang terbesar adalah nafsumu yang berada dalam dirimu.” (HR. Al-Baihaqiy dari riwayat Ibnu Abbas).

Kedua, kata nafs adalah serupa maknanya dengan salah satu makna ‘hati’, yaitu sesuatu yang abstrak dan membentuk diri manusia secara hakiki. Walau demikian, nafs ini dilukiskan dengan berbagai macam sifat sesuai dengan berbagai keadaannya yang berbeda-beda. Jika ia dalam keadaan selalu tenang dan tentram (dalam menerima ketentuan-Nya) dan terhindar dari kegelisahan yang disebabkan oleh pelbagai macam godaan ambisi, maka ia disebut nafs muthmainnah (jiwa yang tenang dan tentram). Seperti dalam firman Allah SWT, ”Wahai nafs muthmainnah, kembalilah kepada Tuhanmu, dalam keadaan ridha dan diridhai sepenuhnya.” (QS. Al-Fajr: 27).

Sedangkan apabila ia gelisah karena berada dalam kondisi perlawanan terhadap godaan syahwat hawa nafsu, maka ia disebut nafs lawwamah (atau jiwa yang senantiasa mengecam). Karena ia selalu menyesali dirinya sendiri atas kelalaiannya dalam melakukan pengabdian kepada Tuhannya. “….dan Aku (Allah) bersumpah dengan nafs lawwamah (jiwa yang selalu mengecam) ….” (QS. Al-Qiyamah: 2).

Selanjutnya, jika nafs ini tidak berusaha menyesali dirinya, bahkan senantiasa tunduk patuh kepada dorongan hawa nafsu dan memperturuti bisikan setan, maka ia disebut nafs ammarah bis-su (nafsu yang menyuruh kepada kejahatan). Seperti dalam firman Allah SWT, menirukan ucapan Yusup as. ataupun isteri Al-Aziz, raja Mesir, “….dan aku tidak hendak membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (QS. Yusuf: 53).

3. Hubungan kalbu dengan ‘Aql (Akal).
Kata akal ini memiliki beberapa makna. Pertama, akal berarti pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu yang bertempat di hati. Kedua, akal berarti bagian (dari manusia) yang memiliki kemampuan untuk mencerap pengetahuan. Hal ini sama dengan hati dalam arti lathifah.

Arti lainnya, bahwa setiap diri orang itu ada ‘sesuatu’ (wadah) yang menampung pengetahuan. Selanjutnya, pengetahuan adalah sifat yang menetap dalam ‘wadah’ tersebut. Jadi, pengetahuan tidak indentik dengan ‘wadah’ yang menampungnya. Sehingga, adakalanya kata akal digunakan untuk menyebutkan tentang sifat yang melekat pada diri orang yang berpengetahuan, dan adakalanya juga untuk menyebutkan tentang wadah pengetahuan dalam diri orang itu. Dan inilah barangkalai yang dimaksud dalam sabda Nabi Saw., “Yang pertama kali diciptakan Allah adalah akal.” (HR. At-Thabrani).

Klasifikasi hati manusia
Akhirnya, melalui kegiatan berselancar singkat di dunia hati seperti di atas, maka kita sudah dapat menarik suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya hati manusia itu memiliki komponen sifat hidup dan mati. Dalam tataran ini, hati manusia dapat diklasifikasikan menjadi tiga. Pertama, Qalbun Shahih (hati yang suci). Yaitu hati yang sehat dan bersih dari setiap nafsu yang menentang perintah dan larangan Allah, dan dari setiap penyimpangan yang menyalahi keutamaan-Nya.

Kedua, Qalbun Mayyit (hati yang mati). Yaitu hati yang tidak pernah mengenal Ilahnya; tidak menyembah-Nya, tidak mencintai atau ridha kepada-Nya. Akan tetapi, ia berdiri berdampingan dengan syahwatnya dan memperturutkan keinginannya, walaupun hal ini menjadikan Allah marah dan murka dibuatnya.

Ketiga, Qalbun Maridl. Yaitu hati yang sebenarnya memiliki kehidupan, namun di dalamnya tersimpan benih-benih penyakit. Tepatnya, kondisi hati ini kadang-kadang ia “berpenyakit” dan kadang pula hidup secara normal, bergantung ketahanan (kekebalan) hatinya. Wallahu a’lam. ***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

http://www.miqra.blogspot.com/
WWW.ARDADINATA.COM