Oleh ARDA DINATA
Menurut Zaim Saidi, pengamat ekonomi dan aktivitas LSM, di atas kertas aksi boikot suatu produk dapat dengan mudah dilakukan, yakni dengan cara menghentikan pemakaian produk-produk yang dimaksudkan. Dan, memang, bila berhasil aksi boikot akan memberikan pengaruh besar justru karena invasi yang sesungguhnya terjadi atas masyarakat global saat ini adalah invasi pasar. Dominasi kekuatan Sekutu dalam kehidupan sehari-hari, dalam situasi “damai” tanpa perang, adalah pada penguasaan pasar dengan produk-produk multinasional yang menjadi ikon-ikon konsumsi: “di mana saja, kapan saja, siapa saja”, makan dan minum produk multinasional.
Pelajaran dan hikmah yang bisa kita dapatkan dari fenomena tersebut adalah setiap umat hendaknya mampu membangun kekuatan jaringan usaha perekonomian yang dikelola oleh umat Islam. Dalam bahasa Zaim Saidi, tujuannya haruslah berdimensi jangka panjang dan mendasar yakni mengalihkan pola konsumsi masyarakat dari produk-produk multinasional yang memiskinkan bangsa kepada produk-produk nasional dan lokal yang meningkatkan kesejahteraan bangsa sendiri.
Jadi, aksi boikot seharusnya hanya dijadikan momentum untuk mengembangkan dan membangun jaringan bisnis dikalangan umat Islam. Salah satu bentuk usaha yang dapat dikembangkan adalah berupa usaha waralaba. Usaha waralaba merupakan bentuk khusus dari lisensi di mana pemberi hak bukan hanya menjual haknya tetapi juga turut serta membentuk si penerima hak dalam melakukan bisnisnya.
Usaha waralaba ini tentu akan membentuk sebuah usaha yang bermanfaat bagi banyak orang. Pada dasarnya konsep bisnis waralaba ini dirancang guna memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam menjalin kemitraan bisnis yang saling melindungi dan menguntungkan.
Dengan demikian, terlepas dari misi sosial, aspek bisnis waralaba menjadi pertimbangan kondisi masyarakat saat ini. Pasalnya, dari data yang dilansir oleh pemerintah, jumlah pengusaha kecil dan menengah itu mencapai 95 % dari keseluruhan pengusaha yang ada di Indonesia. Artinya bisnis waralaba ini masih sangat prospektus dengan dasar adanya potensi yang dapat diambil dari para pengusaha kecil dan menengah di negeri ini masih sangat besar, dan belum dioptimalisasi pemanfaatannya.
Konsep usaha waralaba ini didalamnya terkandung ajaran berupa terjalinnya silaturrahmi. Kita tahu, aktivitas silaturrahmi dalam ajaran Islam disebutkan sebagai aktivitas yang akan mendatangkan rahmat Allah yang tidak terkira. Dalam konteks ini, Islam telah lebih dahulu memberikan kunci bagi mereka yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rizkinya, yaitu dengan cara menyambung persaudaraan. Salah satu bentuk persaudaraan dalam dunia bisnis adalah dengan membangun jaringan bisnis secara Islami.
Di sini, dalam membangun suatu bisnis maka yang penting bagi kita adalah tidak keluar dari prinsip ekonomi Islam. Dalam ajaran ekonomi Islam disebutkan bahwa kekayaan merupakan amanah dari Allah dan tidak dapat dimiliki secara mutlak; manusia diberikan kebebasan untuk bermuamalah selama tidak melanggar ketentuan syariah; manusia merupakan khalifah dan pemakmur di muka bumi; penghapusan praktek riba; dan penolakan terhadap monopoli.
Selain itu, dalam melakukan bisnis, bagi umat Islam harus mengindahkan etika Islam yang berupa jujur, amanah, adil, profesional (ihsan), saling bekerjasama (ta’awun), sabar, dan tabah.
Oleh sebab itu, dalam membangun bisnis waralaba pun kita harus selalu berprinsip pada ekonomi Islam dan menjaganya dengan menerapkan etika bisnis secara islami. Dari sini, maka akan terlahir usaha untuk mempertimbangkan secara bijaksana dan cermat dalam menumbuhkan dan membangun jaringan bisnis waralaba.
Dalam melakukan bisnis waralaba ini, menurut Rambat Lupiyoadi dan Jero wacik (1998), ada beberapa aspek yang harus dipertimbangkan dengan cermat. Pertama, organisasi dari perusahaan yang diberi hak. Di mana perusahaan pemberi hak biasanya masuk ke suatu negara dan mencari partner atau perusahaan yang ingin mendapatkan hak mereka. Lalu mereka akan berunding untuk menentukan bentuk organisasi apa yang layak dan cocok untuk pengembangan usaha yang akan dilakukan.
Kedua, modifikasi sistem operasi. Karena biasanya produk-produk yang dijual itu harus mengalami modifikasi karena kebutuhan dan culture (budaya) dari suatu negara berbeda dengan negara lainnya. Karena itu, antara pemberi dan penerima hak harus berkompromi dan berunding untuk menentukan modifikasi baik pada sistem operasi maupun produk yang akan dijual.
Ketiga, masalah perjanjian atau kontrak yang ada. Di mana pada saat penyusunan kontrak harus detail dan bentuknya kurang lebih sama dengan metode lisensi.
Lebih dari itu, yang jelas secara garis besar ada tiga masalah pokok dalam pemilihan bentuk usaha sebagaimana terlihat dari usulan yang telah diberikan, yaitu: Pertama, motivasi usaha. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dengan cermat menyangkut pengertian bentuk usaha yang akan dijalankan, kelompok usaha yang akan didirikan, maksud pendiriannya, perundingan pendirian dan kesepakatan pendirian usaha.
Kedua, efesiensi usaha. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan menyangkut pertanggung jawaban yang harus diberikan, fungsi manajemen dan kontrol yang harus diadakan, aspek formalitas, fleksibilitas dan permodalan yang harus dilaksanakan dengan baik dan benar.
Ketiga, bentuk usaha yang dipilih. Di sini, tentu banyak ditentukan oleh jenis badan usaha tersebut, bentuk permodalan, tanggung jawab usaha, keanggotaan, pembagian laba, publikasi atas perkiraan tahunan, dll.
Selain permasalahan-permasalahan di atas, dalam usaha waralaba ini memiliki beberapa kelebihan dan kekurangannya yang perlu kita sadarinya dari awal. Beberapa kelebihan usaha waralaba ini, diantaranya: adanya pelatihan yang khusus diberikan oleh pemegang lisensi sehingga pemberdayaan sumber daya manusia dapat dilakukan; keuntungan dari penggunaan merek yang sudah dikenal di dunia sehingga untuk memasarkannya tidak diperlukan lagi biaya yang tinggi; umumnya perusahaan yang memberikan hak lisensinya mempunyai jaringan pemasaran yang kuat dan sudah terbukti keandalannya sehingga si pemegang lisensi dapat memanfaatkan jaringan ini; adanya bantuan keuangan bagi jalannya dan kemajuan perusahaan.
Sementara itu, kekurangan dari bentuk usaha waralaba antara lain ada biaya paten yang harus dibayar oleh pemegang lisensi; kontrol dari perusahaan pemegang paten yang ketat; dan kontrol serta pemenuhan janji-janji dari pemegang paten yang biasanya tidak ditepati.
Dengan mengetahui selek beluk bisnis usaha waralaba tersebut, diharapkan kita dapat berhati-hati dan bertindak secara maksimal dalam menerjuni bisnis ini sebagai wujud nyata dari integralitas boikot atas suatu produk.***
Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
http://www.miqra.blogspot.com/
Menurut Zaim Saidi, pengamat ekonomi dan aktivitas LSM, di atas kertas aksi boikot suatu produk dapat dengan mudah dilakukan, yakni dengan cara menghentikan pemakaian produk-produk yang dimaksudkan. Dan, memang, bila berhasil aksi boikot akan memberikan pengaruh besar justru karena invasi yang sesungguhnya terjadi atas masyarakat global saat ini adalah invasi pasar. Dominasi kekuatan Sekutu dalam kehidupan sehari-hari, dalam situasi “damai” tanpa perang, adalah pada penguasaan pasar dengan produk-produk multinasional yang menjadi ikon-ikon konsumsi: “di mana saja, kapan saja, siapa saja”, makan dan minum produk multinasional.
Pelajaran dan hikmah yang bisa kita dapatkan dari fenomena tersebut adalah setiap umat hendaknya mampu membangun kekuatan jaringan usaha perekonomian yang dikelola oleh umat Islam. Dalam bahasa Zaim Saidi, tujuannya haruslah berdimensi jangka panjang dan mendasar yakni mengalihkan pola konsumsi masyarakat dari produk-produk multinasional yang memiskinkan bangsa kepada produk-produk nasional dan lokal yang meningkatkan kesejahteraan bangsa sendiri.
Jadi, aksi boikot seharusnya hanya dijadikan momentum untuk mengembangkan dan membangun jaringan bisnis dikalangan umat Islam. Salah satu bentuk usaha yang dapat dikembangkan adalah berupa usaha waralaba. Usaha waralaba merupakan bentuk khusus dari lisensi di mana pemberi hak bukan hanya menjual haknya tetapi juga turut serta membentuk si penerima hak dalam melakukan bisnisnya.
Usaha waralaba ini tentu akan membentuk sebuah usaha yang bermanfaat bagi banyak orang. Pada dasarnya konsep bisnis waralaba ini dirancang guna memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam menjalin kemitraan bisnis yang saling melindungi dan menguntungkan.
Dengan demikian, terlepas dari misi sosial, aspek bisnis waralaba menjadi pertimbangan kondisi masyarakat saat ini. Pasalnya, dari data yang dilansir oleh pemerintah, jumlah pengusaha kecil dan menengah itu mencapai 95 % dari keseluruhan pengusaha yang ada di Indonesia. Artinya bisnis waralaba ini masih sangat prospektus dengan dasar adanya potensi yang dapat diambil dari para pengusaha kecil dan menengah di negeri ini masih sangat besar, dan belum dioptimalisasi pemanfaatannya.
Konsep usaha waralaba ini didalamnya terkandung ajaran berupa terjalinnya silaturrahmi. Kita tahu, aktivitas silaturrahmi dalam ajaran Islam disebutkan sebagai aktivitas yang akan mendatangkan rahmat Allah yang tidak terkira. Dalam konteks ini, Islam telah lebih dahulu memberikan kunci bagi mereka yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rizkinya, yaitu dengan cara menyambung persaudaraan. Salah satu bentuk persaudaraan dalam dunia bisnis adalah dengan membangun jaringan bisnis secara Islami.
Di sini, dalam membangun suatu bisnis maka yang penting bagi kita adalah tidak keluar dari prinsip ekonomi Islam. Dalam ajaran ekonomi Islam disebutkan bahwa kekayaan merupakan amanah dari Allah dan tidak dapat dimiliki secara mutlak; manusia diberikan kebebasan untuk bermuamalah selama tidak melanggar ketentuan syariah; manusia merupakan khalifah dan pemakmur di muka bumi; penghapusan praktek riba; dan penolakan terhadap monopoli.
Selain itu, dalam melakukan bisnis, bagi umat Islam harus mengindahkan etika Islam yang berupa jujur, amanah, adil, profesional (ihsan), saling bekerjasama (ta’awun), sabar, dan tabah.
Oleh sebab itu, dalam membangun bisnis waralaba pun kita harus selalu berprinsip pada ekonomi Islam dan menjaganya dengan menerapkan etika bisnis secara islami. Dari sini, maka akan terlahir usaha untuk mempertimbangkan secara bijaksana dan cermat dalam menumbuhkan dan membangun jaringan bisnis waralaba.
Dalam melakukan bisnis waralaba ini, menurut Rambat Lupiyoadi dan Jero wacik (1998), ada beberapa aspek yang harus dipertimbangkan dengan cermat. Pertama, organisasi dari perusahaan yang diberi hak. Di mana perusahaan pemberi hak biasanya masuk ke suatu negara dan mencari partner atau perusahaan yang ingin mendapatkan hak mereka. Lalu mereka akan berunding untuk menentukan bentuk organisasi apa yang layak dan cocok untuk pengembangan usaha yang akan dilakukan.
Kedua, modifikasi sistem operasi. Karena biasanya produk-produk yang dijual itu harus mengalami modifikasi karena kebutuhan dan culture (budaya) dari suatu negara berbeda dengan negara lainnya. Karena itu, antara pemberi dan penerima hak harus berkompromi dan berunding untuk menentukan modifikasi baik pada sistem operasi maupun produk yang akan dijual.
Ketiga, masalah perjanjian atau kontrak yang ada. Di mana pada saat penyusunan kontrak harus detail dan bentuknya kurang lebih sama dengan metode lisensi.
Lebih dari itu, yang jelas secara garis besar ada tiga masalah pokok dalam pemilihan bentuk usaha sebagaimana terlihat dari usulan yang telah diberikan, yaitu: Pertama, motivasi usaha. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dengan cermat menyangkut pengertian bentuk usaha yang akan dijalankan, kelompok usaha yang akan didirikan, maksud pendiriannya, perundingan pendirian dan kesepakatan pendirian usaha.
Kedua, efesiensi usaha. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan menyangkut pertanggung jawaban yang harus diberikan, fungsi manajemen dan kontrol yang harus diadakan, aspek formalitas, fleksibilitas dan permodalan yang harus dilaksanakan dengan baik dan benar.
Ketiga, bentuk usaha yang dipilih. Di sini, tentu banyak ditentukan oleh jenis badan usaha tersebut, bentuk permodalan, tanggung jawab usaha, keanggotaan, pembagian laba, publikasi atas perkiraan tahunan, dll.
Selain permasalahan-permasalahan di atas, dalam usaha waralaba ini memiliki beberapa kelebihan dan kekurangannya yang perlu kita sadarinya dari awal. Beberapa kelebihan usaha waralaba ini, diantaranya: adanya pelatihan yang khusus diberikan oleh pemegang lisensi sehingga pemberdayaan sumber daya manusia dapat dilakukan; keuntungan dari penggunaan merek yang sudah dikenal di dunia sehingga untuk memasarkannya tidak diperlukan lagi biaya yang tinggi; umumnya perusahaan yang memberikan hak lisensinya mempunyai jaringan pemasaran yang kuat dan sudah terbukti keandalannya sehingga si pemegang lisensi dapat memanfaatkan jaringan ini; adanya bantuan keuangan bagi jalannya dan kemajuan perusahaan.
Sementara itu, kekurangan dari bentuk usaha waralaba antara lain ada biaya paten yang harus dibayar oleh pemegang lisensi; kontrol dari perusahaan pemegang paten yang ketat; dan kontrol serta pemenuhan janji-janji dari pemegang paten yang biasanya tidak ditepati.
Dengan mengetahui selek beluk bisnis usaha waralaba tersebut, diharapkan kita dapat berhati-hati dan bertindak secara maksimal dalam menerjuni bisnis ini sebagai wujud nyata dari integralitas boikot atas suatu produk.***
Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
http://www.miqra.blogspot.com/